Minggu, 18 Oktober 2020

Sebuah Broadcast Message Dariku dan Untukku

  Oleh: Iqbal M. Rinanda



(^&!@#$%^KAU)*(&^%%

!#$^%&*)(_)(*&^%&$^#@$

()*(&^*%&$^#%@$#^%$&(

*))&^%&$^#@!#$@%#^$&%

^&*)()^%&$#@!)(&^*%&$^

^HANYALAH()&^*%

!@$%^&(*)*&^%&$^#@)(*

_)(*)&^%$#@!@#%$^&*()

_)(*)^&*%&$^#@$#^$%&

!@$%^&*()&^%&$^%&)&

#@#$(**(BUDAK)(***

#$%^&*()&^%$#@!@$^%

*&^%$#@#$%^&*()*(*!@#

#@!@#$%^&*(&^*((^&%$

@##@$@#%$%^&%&*(

$#@DEADLINE!!$%^




Yogyakarta, 18 Oktober 2020

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sabtu, 17 Oktober 2020

Tidak Dikasih Judul

Oleh: Iqbal M. Rinanda 


Di ujung pandang debu-debu berhamburan

Mengiringi tawa anak-anak penuh bersahutan

Walau hujan sudah lama tak menggenang bergelayutan

Namun anggap inilah nikmat Tuhan

 

Azan maghrib terlantun hikmat

Puisi terbaik yang dikumadangkan Bilal sungguh memikat

Tidak pakai tali tapi hati sudah terikat

Iman di hati semakin menggeliat

 

Soal nikmat Tuhan, maka hidup adalah berkah

Mengalir deras bagai hujan yang tak bisa dicegah

Jangan rakus dan jangan serakah

Mari bersyukur dan mari berbenah


Yogyakarta, 17 Oktober 2020

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Jumat, 16 Oktober 2020

Tidak Perlu Judul

Oleh: Iqbal M. Rinanda



Suara teriakan dari perut terus terdengar bising

Bersaut-sautan dengan detak jarum jam dinding

Perut kosong, kepala pusing, seperti orang sinting

Bukan vokalis Nidji tapi rasa lapar terus menggiring

 

Perut kerontang tak pernah bisa membusung

Karena padi dan beras sudah tak ada di lumbung

Katanya tanah di sini adalah tanah yang beruntung

Namun kemiskinan seperti asap terus membubung

 

Bukan domba tapi nasib terus diadu

Seorang ibu menggendong anaknya yang berumur tak lebih dari satu

Berkeliling di perempatan meminta receh tapi sedikit yang membantu

Tapi tak menyerah terus meminta dengan tatapan haru

 

Setiap sudut selalu ada celoteh mulut manusia

Berisik dan mencibir seakan itu adalah sebuah karunia

Bahkan tak sedikit yang mebuatmu tak lagi merasa “aku bisa”

Dan senang jika kamu berantakan seperti pantun tanpa rima


Yogyakarta, 16 Oktober 2020

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Selasa, 14 Juli 2020

Trilogi Review: Semar Mesem Romo Mendem (PART 1)




 (sumber: dokumentasi prbadi)
Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah buku karya bang Pandji Pragiwaksono yang berjudul “Juru Bicara”. Lalu, entah kenapa saya ingin membuat review dari buku-buku yang sudah saya baca. Ya memang belum terlalu bayak buku-buku yang sudah saya baca. Justru hal ini, yang menurut saya, akan membuat saya menjadi cambuk untuk semakin menambah bacaan saya.
Oleh karena itu, saya akan memulai dengan me-review tiga buku sekaligus yang saya jadikan menjadi Review Trilogi: Semar Mesem Romo Mendem. Hal ini dikarenakan buku-buku ini bagi saya saling berhubungan erat satu sama lain. Bagaimana tidak, ketiga buku ini merupakan buku “inspirasi”, “proses”, dan “hasil” (seharusnya ada empat buku, namun buku yang satu lagi belum saya baca). Ketiganya akan saya urai namun tidak dengan urutan inspirasi-proses-hasil, namun dengan urutan kapan saya membeli.

Buku Album Musik Semar Mesem Romo Mendem: The Book of Sindhunata
(sumber: dokumentasi pribadi)
Pada tahun 2015 lalu, saya pertama kali datang ke kantor marchendise Jogja Hip Hop Foundation (JHF) di Gedung Situs Kriya di komplek Jogja National Museum. Di sana saya membeli buku album ini dan bertemu dengan mas Marzuki Mohammad a.k.a Kill The DJ, pendiri Jogja Hip Hop Foundation.
Dalam buku album ini, ada 14 lagu yang kesemuanya merupakan sebuah hiphopisasi puisi (istilah saya sendiri). Jika ada istilah musikalisasi puisi, maka ini saya sebut hiphopisasi puisi. Karena bagi saya ini bukan sekedar memusikan puisi, tapi ada banyak hal yang saya rasakan dari kesemua lagu-lagu dalam album ini (mari sepakat untuk menganggap bahwa hal tersebut hanya karena selera musik saya saja).
Saya menemukan banyak hal yang membuka pikiran saya. Dimulai dengan sambutan dari Kill The DJ yang menyatakan bahwa dia selalu merasa heran di setiap kali manggung, “bagaimana sebuah teks puisi karya Sindhunata yang kami ‘permak’ menjadi lagu hip hop itu bisa dirapalkan oleh ribuan orang dan menggetarkan mereka?” (hal. 5). Begitu pula dengan saya yang entah kenapa juga merasakan getaran yang aneh terhadap lagu-lagu JHF (yang dari teks puisi Sindhunata). Dulu ketika saya masih duduk di Madrasah Aliyah, saya mulai menyukai musik hip hop karena dikenalkan oleh teman saya. Lalu ketika teman saya mengenalkan saya dengan lagu Jogja Istimewa-nya JHF, saya masih belum merasakan getaran aneh. Namun, ketika saya dikenalkan lagi dengan lagu Cintamu Sepahit Topi Miring (sebelum dibuatkan album Semar Mesem Romo Mendem ini), barulah saya merasakan sebuah getaran aneh. Ada sebuah pemikiran dimana saya hanya peduli dengan kata-kata dan bunyi yang dirapalkan secara hip hop tanpa mempedulikan soal arti. Di situlah saya mulai memahami bahwa kata yang dibunyikan dan dirasakan oleh pendengar jauh lebih nikmat dari pada sibuk memahami arti. Karena toh pada akhirnya setiap pendengar bisa berbeda-beda dalam mengambil arti dari sebuah lagu.
“Sebenarnya aku tidak ngerti puisi itu apa, artinya apa, maksudnya apa, aku hanya merasa nyaman dengan kata-kata dari puisi-puisi Romo Sindhu dan menjadi hidup ketika dibikin lagu,” demikian Heri Wiyoso a.k.a M2MX (salah satu personil Jogja Hip Hop Foundation). (hal. 6)
Begitu pula disampaikan Kill The DJ, “ternyata memahami arti puisi bukanlah segalanya, karena spirit yang diamini khalayak adalah iman yang selalu melahirkan doa terbaik. Meminjam istilah Elisabeth Inandiak, seperti Centhini, mantra akan menjadi hidup ketika diberi bunyi dan disuarakan, bukan hanya tertulis dan tersimpan dalam kitab”. Begitu juga dengan saya ketika mendengar lagu-lagu hasil hiphopisasi puisi dari Sindhunata oleh JHF, saya selalu tidak pernah mencoba untuk mencari arti dan maksudnya, namun saya nikmati setiap kata yang dibunyikan yang seakan setiap kata yang dirapalkan dalam lagu-lagu tersebut seakan menjadi hidup. “Sesungguhnya setiap kata adalah bunyi, dan setiap bunyi mempunyai nyawa,” demikian disampaikan Kill The DJ (hal. 10).
Selain Kill The DJ, Sindhunata juga memberikan sambutan dalam buku album ini. Dia menyampaikan bahwa dalam puisinya yang berjudul Rep Kedhep ada sebuah rapal mantra yang diambil dari sebuah ritual yang biasa dilakukan oleh sekelompok warga di sebuah daerah di Klaten. Lalu yang membuat dia heran dan tidak menyangka, “rapal tersebut banyak terdengar dimana-mana, paling tidak di Yogyakarta dan sekitarnya” (hal. 18). Dan hal tersebut, JHF lah yang mempopulerkan dan membuat anak-anak muda, laki-laki maupun perempuan, juga merapalkan mantra tersebut beserta puisi Rep Kedhep dalam balutan musik hip hop. Saya juga baru tahu bahwa bagian reff dari lagu Rep Kedhep tersebut adalah sebuah mantra setelah membaca buku album ini.
Selain itu, dalam lagu (dan puisi) Cintamu Sepahit Topi Miring ada kata-kata yang unik, yaitu nong ji nong ro. Itu memang merupakan semacam irama dari sebuah alat musik tradisional, kenong. Puisi Cintamu Sepahit Topi Miring, memang Sindhunata menceritakan soal Ranto Gudel, pelawak, peminum, yang kemudian menyadari semua kesia-siaan hidupnya (hal. 21). Lalu yang membuat saya salut adalah ketika saya menonton video dokumentasi JHF ketika mereka tour hip hop di Amerika, mereka mengajak penonton (orang-orang Amerika) untuk bersama-sama merapal nong, nong ji nong ro beberapa kali yang kemudian disambut oleh musik lalu dimulailah lagu Cintamu Sepahit Topi Miring. Begitu juga yang saya rasakan ketika saya pertama kali menonton konser JHF secara langsung di Jogja Expo Centre pada 2015 lalu. Mereka akan mengajak penonton untuk merapal nong ji nong ro terlebih dahulu sebelum memulai lagu Cintamu Sepahit Topi Miring. Seakan ini adalah sebuah lagu yang sakral. Selain lagu tersebut, JHF juga biasa berseru “ayo ndadi” ketika akan menyanyikan lagu Rep Kedhep yang biasanya ditaruh sebagai lagu pembuka ketika sedang show (atau lagu kedua setelah lagu pembuka, dan ini hanya setahu saya).
“Kata adalah bunyi. Ternyata bunyi lebih kaya dan lebih dalam daripada kata. Dan selalu kata tak dapat menangkap seluruh kekayaan dan kedalamannya” (hal. 23).
Hal lain yang sangat menarik adalah Sindhunata yang mengatakan bahwa “karya, yang mempunyai tugas untuk ’tidak mati’, berhak untuk membunuh, untuk membunuh pengarangnya” (hal. 37). Sepertinya memang benar. Ketika seseorang membuat karya, memang biasanya akan terbunuh dengan persepsi-persepsi yang berbeda-beda ketika dibaca atau dinikmati orang lain, apalagi jika disampaikan lagi ke orang lain.
“Dalam lirik-lirik teman-teman JHF , ‘saya’ sebagai ‘pengarang’ atau ‘penyair’ sudah terbunuh dan mati. Tapi seperti saya katakan berulang kali, saya ‘rela’ malah ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Itu bukan karena saya telah memenuhi tuntutan etis. Saya ikhlas, malah bersyukur, bahwa ‘saya’ terbunuh dan mati, karena tu berarti,bahwa ‘puisi’ saya tetap hidup terus, walau dengan cara, makna dan isi hidup yangsama sekali baru” (hal. 39).


Yogyakarta, 13 Juli 2020


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Kamis, 30 April 2020

#AprilProduktifDay30 - Salam Satu Panel



Sekitar satu atau dua bulan lalu saya sempat bertanya kepada admin grup #AprilProduktifDay ini soal komunitas-komunitas menulis, terutama sastra. Karena saya ingin mencoba membuat karya selain komik. Lalu beberapa waktu setelah itu dia memposting mengajak untuk membuat grup produktif menulis. Tanpa basa-basi kayak fakboi, saya langsung bilang saya ingin gabung.

Sudah berjalan satu bulan. Dan tanpa saya sadari banyak hal yang saya pelajari. Membuat karya dalam bentuk selain komik mungkin bukan hal biasa bagi saya, karena itu ini merupakan pengalaman yang berharga bagi saya. Terima kasih untuk admin grup #AprilProduktifDay, karena tanpa grupmu ini saya hanyalah mas-mas biasa yang mengaku komikus tapi malas membuat komik.

Semoga grup produktif ini masih berlanjut, tidak hanya untuk bulan april ini saja.

Sekali lagi terima kasih.

Salam Gerakan Komik Bosok.

Salam satu panel





Share This:   FacebookTwitterGoogle+

#AprilProduktifDay29 - Mupus dan Legowo



Saya tidak tahu harus menyampaikan apa. Apa ya, saya tidak tahu apa yang harus orang lain tahu. Mungkin untuk sekarang ini memang ada beberapa hal yang berkecamuk di dalam pikiran saya. Namun bukan untuk saya eksekusi di sini. Ada yang saya eksekusi dalam bentuk komik (memang kayaknya komik semua sih). Tungguin saja, dan bukan di sini, tapi di platform lain.

Oh ya, mungkin ada hal yang ingin saya sampaikan bahwa mari belajar untuk memperluas sudut pandang. Karena ini penting terutama di masa di mana banyak orang lebih mudah langsung menyerang daripada ber-tabayun lebih dahulu, terutama di sosial media. Apapun yang dipost orang yang penting komentar dahulu, serang dulu, nyiyirin dulu, tanpa tabayun atau mencari informasi lain terlebih dahulu.

Selain itu, mari belajar untuk lebih legowo dalam menghadapi hidup. Suatu waktu saya menonton video sebuah acara Maiyahan, namun bukan Cak Nun tapi putranya, mas Sabrang. Mas Sabrang menjelaskan bagaimana mupus dalam hidup. Sebagai contoh, dulu ada isu harga rokok naik hinggan 50 ribu, namun dengan mupus maka berpikirnya akan berbeda, “iya ya, rokok harga 15 ribu saja nikmat sekali, apalagi kalua 50 ribu”. Itu hanya sebagai contoh (saya mohon maaf terhadap contoh tersebut untuk orang-orang tidak suka rokok bahkan sampai benci perokok). Misal ada masalah yang sampai membuat pusing sampai stres, jika kita legowo dan mupus, maka kita akan berpikir “iya ya ini baru masalah begini saja kok, saya pasti bias menghadapi ini, soalnya nanti pasti ada lagi masalah yang lebih berat, jadi ini bukan apa-apa”.

Memang hal-hal tersebut tidaklah mudah. Saya sendiri selalu mencoba mempraktikkannya. Dan memang tidak mudah.

Sekian.









Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Selasa, 28 April 2020

#AprilProduktifDay28 - Pendekar Penyair




Abdullah bin Rawahah merupakan salah satu dari 12 utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan kaum Anshar. Mereka yang berbaiat dalam Baiat Aqabah Ula (pertama). Rasulullah sangat suka dengan syair-syair Abdullah bin Rawahah.

Abdullah bin Rawahah sangat berduka ketika turun ayat "Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat." (QS Asy-Syu'ara: 224). Namun kemudian terhibur ketika turun ayat "Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya." (QS Asy-Syu'ara: 227).

Abdullah bin Rawahah juga sering tampil dalam medan-medan pertempuran seperti Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, dan Khaibar. Tidak lupa juga syair-syairnya digunakan untuk menyemangati kaum muslimin dalam perang.

Kemudian ketika perang Mu’tah, perang elawan Romawi, kaum muslimin yang kalah jauh jumlah pasukannya dengan pasukan Romawi, merasa sedikit khawatir menyarankan untuk meminta bantuan kepada Rasulullah. Lalu Abdullah bin Rawahah mengeluarkan syairya yang kemudian para kaum muslimin menjadi bersemangat dan langsung maju menerjang pasukan musuh.

Zaid bin Haritsah yang memimpin pasukan pertama gugur sebagai syahid. Kemudian panji perang diraih Ja’far bin Abi Thalib yang memimpin pasukan kedua. Kemudian Ja’far juga gugur sebagai syahid. Lalu Abdullah bin Rawahah meraih panji perang dan melanjutkan peperangan, dan Abdullah bin Rawahah pun gugur sebagai syahid menyusul dua sahabatnya, Zaid dan Ja’far.

Dikisahkan bahwa ketika perang Mu’tah berkecamuk, Rasulullah yang sedang berkumpul dengan para sahabat dalam suatu majelis tiba-tiba terdiam dan meneteskan air mata. Para sahabat menanyakan perihal tersebut, lalu Rasullulah menceritakan tentang Zaid, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah yang gugur sebagai syahid. Lalu Rasullah bersabda bahwa mereka bertiga diangkat ke surga.

Selain Abdullah bin Rawahah, ada juga Hassan bin Tsabit yag juga merupakan penyair muslim ulung yang dengan syair-syairnya telah memadamkan semangat kaum musyrikin, dan membangkitkan semangat kaum muslimin.




Referensi:
https://republika.co.id/berita/llhvqt/kisah-sahabat-nabi-abdullah-bin-rawahah-penyair-rasulullah
https://republika.co.id/berita/ppmxb2458/penyair-yang-membela-islam-di-zaman-rasul








Share This:   FacebookTwitterGoogle+

#AprilProduktifDay27 - Masih Polos



Dulu ketika saya masih kelas 4 Madrasah Ibtidiyah, saya ikut ngaji pasanan (mengaji di bulan puasa) di mushala dekat rumah saya yang saat itu kitab kuning yang dikaji adalah kitab Safinatun Naja, sebuah kitab fikih klasik yang sangat ringan untuk dikaji. Saya adalah yang paling kecil dan paling muda di antara semua yang mengaji, sedangkan yang lain sudah besar-besar. Saat itu sedang membahas bagaimana membersihkan hadast besar karena keluar air mani.

Lalu dengan kepolosan saya yang saat itu masih kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah, saya bertanya, “Pak Kiyai, air mani itu apa ya?”.

Seketika semua orang kecuali saya tertawa terbahak-bahak selama beberapa menit, sedangkan saya diam kebingungan.









Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Minggu, 26 April 2020

#AprilProduktifDay26 - KH Suyuthi Abdul Qodir

Saya tidak terlalu tahu soal apa itu Ma'unah. Saya ingin bercerita singkat tentang pendiri pondok pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, tempat saya dulu menimba ilmu, yaitu KH Suyuthi Abdul Qodir.

Waktu itu sedang marak-maraknya G-30 S/PKI. Sekelompok PKI datang dari Semarang utnuk menculik dan membunuh beliau. Mengingat beliau adalah tokoh agama yang sangat terkemuka di daerah Pati. Tapi, dengan kuasa Allah SWT, PKI tidak dapat menemukan beliau, walaupun mereka telah menggeledah seisi rumah. Padahal saat itu, KH. Suyuthi sedang berada di beranda rumah. Subhanallah!

Cerita ini sangat populer dan sering diangkat di majalah sekolah saya.

Sekian.





Share This:   FacebookTwitterGoogle+

#AprilProduktifDay25 - Kullu Nafsin Dzaiqotul Maut

Saya tidak tahu soal kematian, karena saya belum pernah mati. Yang kutahu adalah setiap yang bernyawa akan mati, kullu nafsin dzaiqotul maut. Berarti siapapun dan apapun akan mencicipi kematian.

Dan yang kutahu bahwa kehidupan dan kematian bukan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Keduanya adalah sebuah kesatuan. Seperti halnya siang dan malam. Siang dan malam bukanlah hal yang masing-masing berdiri sendiri, keduanya adalah satu. Seperti itulah kehidupan dan kematian





Share This:   FacebookTwitterGoogle+

#AprilProduktifDay24 - Ya Tawwab Tubb 'Alaina

Saya merindukan ketika selesai tadarusan di bulan Ramadhan di Mushola dekat rumah saya, yaitu melantunkan syair Ya Tawwab Tubb 'Alaina yang disambung dengan syair Qod Kafani.

Yang membuat saya rindu adalah ketika pertama kali mendengar syair tersebut dilantunkan. Jadi, dulu ketika saya masih kecil pernah menjalankan puasa di sebuah desa kecil di pinggir kota Pamekasan, Madura. Di masjid tempat saya ikut shalat Tarawih, setiap selesai tadarusan langsung melantunkan syair Ya Tawwab Tubb Alaina yang disambung syair Qod Kafani. Di situlah saya melihat betapa menggembirakannya bulan Ramadhan. anak-anak kecil yang tadinya lari-larian, bermain-main, namun ketika dilantunkan syair tersebut semua anak berkumpul mengerumuni orang yang melantunkan syair tersebut dan serentak ikut melantunkan syair tersebut dengan riang gembira tanpa beban apapun.

Dan kemudian oleh bapak saya syair tersebut di bawa ke mushola dekat rumah saya untuk dilantunkan setelah tadarus di bulan Ramadhan.



Ya tawwab tubb alaina Warhamna wandur ilaina
Falihadzas-sirri ad’u  fi yasari wa ‘asari
Ana ‘abdun shoro fakhri dlimna faqri wadlthirori
Qod kafani ‘ilmu robbi min su-ali wakhtiyari
Wa bima qod halla qolbi min humumin wasytigholi
Fatadarokni biluthfin minka ya mawlal mawali
Ya karimal wajhi ghitsni qobla an yafna-shthibari
Ya sari’al ghoutsi ghoutsan minka yudrikni sari’an
Yahzimul ‘usro wa ya’ti billadzi arju jami’an
Ya qoriban ya mujiban ya ‘aliman ya sami’an
Qod tahaqqoqtu bi ‘ajzi wa khudlu i wankisari
Lam azal bil babi waqif farhaman robbi wuqufi
Wa biwadil fadl-li akif fa-adim robbi ‘ukufi
Wa lihusnidhdhonni lazim wa huwa khali wa halifi
Wa anisi wa jalisi thula laili wa nahari
Hajatan fin-nafsi ya robb faqdliha ya khoiro qodli
Wa sururin wa huburin wa idza ma kunta rodli
Falhana walbasthu hali wa syi’ari wa ditsari
Qod kafani ‘ilmu robbi min su-ali wakhtiyari



Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Popular Posts

Recent Posts

Categories

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright © Gerakan Komik Bosok | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com