(sumber: dokumentasi prbadi)
Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah buku karya
bang Pandji Pragiwaksono yang berjudul “Juru Bicara”. Lalu, entah kenapa saya
ingin membuat review dari buku-buku
yang sudah saya baca. Ya memang belum terlalu bayak buku-buku yang sudah saya
baca. Justru hal ini, yang menurut saya, akan membuat saya menjadi cambuk untuk
semakin menambah bacaan saya.
Oleh karena itu, saya akan memulai dengan me-review tiga buku sekaligus yang saya
jadikan menjadi Review Trilogi: Semar
Mesem Romo Mendem. Hal ini dikarenakan buku-buku ini bagi saya saling
berhubungan erat satu sama lain. Bagaimana tidak, ketiga buku ini merupakan
buku “inspirasi”, “proses”, dan “hasil” (seharusnya ada empat buku, namun buku
yang satu lagi belum saya baca). Ketiganya akan saya urai namun tidak dengan
urutan inspirasi-proses-hasil, namun dengan urutan kapan saya membeli.
Buku Album Musik Semar Mesem Romo Mendem: The Book of
Sindhunata
(sumber: dokumentasi pribadi)
Pada tahun 2015 lalu, saya pertama kali datang ke
kantor marchendise Jogja Hip Hop
Foundation (JHF) di Gedung Situs Kriya di komplek Jogja National Museum. Di
sana saya membeli buku album ini dan bertemu dengan mas Marzuki Mohammad a.k.a
Kill The DJ, pendiri Jogja Hip Hop Foundation.
Dalam buku album ini, ada 14 lagu yang kesemuanya
merupakan sebuah hiphopisasi puisi (istilah
saya sendiri). Jika ada istilah musikalisasi puisi, maka ini saya sebut hiphopisasi puisi. Karena bagi saya ini
bukan sekedar memusikan puisi, tapi
ada banyak hal yang saya rasakan dari kesemua lagu-lagu dalam album ini (mari
sepakat untuk menganggap bahwa hal tersebut hanya karena selera musik saya
saja).
Saya menemukan banyak hal yang membuka pikiran saya.
Dimulai dengan sambutan dari Kill The DJ yang menyatakan bahwa dia selalu
merasa heran di setiap kali manggung, “bagaimana sebuah teks puisi karya
Sindhunata yang kami ‘permak’ menjadi lagu hip hop itu bisa dirapalkan oleh
ribuan orang dan menggetarkan mereka?” (hal. 5). Begitu pula dengan saya yang
entah kenapa juga merasakan getaran yang aneh terhadap lagu-lagu JHF (yang dari
teks puisi Sindhunata). Dulu ketika saya masih duduk di Madrasah Aliyah, saya
mulai menyukai musik hip hop karena dikenalkan oleh teman saya. Lalu ketika
teman saya mengenalkan saya dengan lagu Jogja
Istimewa-nya JHF, saya masih belum merasakan getaran aneh. Namun, ketika
saya dikenalkan lagi dengan lagu Cintamu
Sepahit Topi Miring (sebelum dibuatkan album Semar Mesem Romo Mendem ini),
barulah saya merasakan sebuah getaran aneh. Ada sebuah pemikiran dimana saya
hanya peduli dengan kata-kata dan bunyi yang dirapalkan secara hip hop tanpa
mempedulikan soal arti. Di situlah saya mulai memahami bahwa kata yang
dibunyikan dan dirasakan oleh pendengar jauh lebih nikmat dari pada sibuk
memahami arti. Karena toh pada akhirnya setiap pendengar bisa berbeda-beda
dalam mengambil arti dari sebuah lagu.
“Sebenarnya aku
tidak ngerti puisi itu apa, artinya apa, maksudnya apa, aku hanya merasa nyaman
dengan kata-kata dari puisi-puisi Romo Sindhu dan menjadi hidup ketika dibikin
lagu,” demikian Heri Wiyoso a.k.a M2MX (salah satu personil Jogja Hip Hop
Foundation). (hal. 6)
Begitu pula disampaikan Kill The DJ, “ternyata
memahami arti puisi bukanlah segalanya, karena spirit yang diamini khalayak
adalah iman yang selalu melahirkan doa terbaik. Meminjam istilah Elisabeth
Inandiak, seperti Centhini, mantra akan menjadi hidup ketika diberi bunyi dan disuarakan,
bukan hanya tertulis dan tersimpan dalam kitab”. Begitu juga dengan saya ketika
mendengar lagu-lagu hasil hiphopisasi puisi dari Sindhunata oleh JHF, saya
selalu tidak pernah mencoba untuk mencari arti dan maksudnya, namun saya
nikmati setiap kata yang dibunyikan yang seakan setiap kata yang dirapalkan
dalam lagu-lagu tersebut seakan menjadi hidup. “Sesungguhnya setiap kata adalah
bunyi, dan setiap bunyi mempunyai nyawa,” demikian disampaikan Kill The DJ
(hal. 10).
Selain Kill The DJ, Sindhunata juga memberikan
sambutan dalam buku album ini. Dia menyampaikan bahwa dalam puisinya yang
berjudul Rep Kedhep ada sebuah rapal
mantra yang diambil dari sebuah ritual yang biasa dilakukan oleh sekelompok
warga di sebuah daerah di Klaten. Lalu yang membuat dia heran dan tidak
menyangka, “rapal tersebut banyak terdengar dimana-mana, paling tidak di
Yogyakarta dan sekitarnya” (hal. 18). Dan hal tersebut, JHF lah yang
mempopulerkan dan membuat anak-anak muda, laki-laki maupun perempuan, juga
merapalkan mantra tersebut beserta puisi Rep
Kedhep dalam balutan musik hip hop. Saya juga baru tahu bahwa bagian reff
dari lagu Rep Kedhep tersebut adalah
sebuah mantra setelah membaca buku album ini.
Selain itu, dalam lagu (dan puisi) Cintamu Sepahit Topi Miring ada
kata-kata yang unik, yaitu nong ji nong
ro. Itu memang merupakan semacam irama dari sebuah alat musik tradisional,
kenong. Puisi Cintamu Sepahit Topi Miring,
memang Sindhunata menceritakan soal Ranto Gudel, pelawak, peminum, yang
kemudian menyadari semua kesia-siaan hidupnya (hal. 21). Lalu yang membuat saya
salut adalah ketika saya menonton video dokumentasi JHF ketika mereka tour hip
hop di Amerika, mereka mengajak penonton (orang-orang Amerika) untuk
bersama-sama merapal nong, nong ji nong
ro beberapa kali yang kemudian disambut oleh musik lalu dimulailah lagu Cintamu Sepahit Topi Miring. Begitu juga
yang saya rasakan ketika saya pertama kali menonton konser JHF secara langsung
di Jogja Expo Centre pada 2015 lalu. Mereka akan mengajak penonton untuk merapal
nong ji nong ro terlebih dahulu
sebelum memulai lagu Cintamu Sepahit Topi
Miring. Seakan ini adalah sebuah lagu yang sakral. Selain lagu tersebut,
JHF juga biasa berseru “ayo ndadi”
ketika akan menyanyikan lagu Rep Kedhep
yang biasanya ditaruh sebagai lagu pembuka ketika sedang show (atau lagu kedua
setelah lagu pembuka, dan ini hanya setahu saya).
“Kata adalah
bunyi. Ternyata bunyi lebih kaya dan lebih dalam daripada kata. Dan selalu kata
tak dapat menangkap seluruh kekayaan dan kedalamannya” (hal. 23).
Hal lain yang sangat menarik adalah Sindhunata yang
mengatakan bahwa “karya, yang mempunyai tugas untuk ’tidak mati’, berhak untuk
membunuh, untuk membunuh pengarangnya” (hal. 37). Sepertinya memang benar.
Ketika seseorang membuat karya, memang biasanya akan terbunuh dengan
persepsi-persepsi yang berbeda-beda ketika dibaca atau dinikmati orang lain,
apalagi jika disampaikan lagi ke orang lain.
“Dalam
lirik-lirik teman-teman JHF , ‘saya’ sebagai ‘pengarang’ atau ‘penyair’ sudah
terbunuh dan mati. Tapi seperti saya katakan berulang kali, saya ‘rela’ malah
ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Itu bukan karena saya telah memenuhi tuntutan etis.
Saya ikhlas, malah bersyukur, bahwa ‘saya’ terbunuh dan mati, karena tu
berarti,bahwa ‘puisi’ saya tetap hidup terus, walau dengan cara, makna dan isi
hidup yangsama sekali baru” (hal. 39).
Yogyakarta, 13 Juli 2020