Selasa, 14 Juli 2020

Trilogi Review: Semar Mesem Romo Mendem (PART 1)




 (sumber: dokumentasi prbadi)
Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah buku karya bang Pandji Pragiwaksono yang berjudul “Juru Bicara”. Lalu, entah kenapa saya ingin membuat review dari buku-buku yang sudah saya baca. Ya memang belum terlalu bayak buku-buku yang sudah saya baca. Justru hal ini, yang menurut saya, akan membuat saya menjadi cambuk untuk semakin menambah bacaan saya.
Oleh karena itu, saya akan memulai dengan me-review tiga buku sekaligus yang saya jadikan menjadi Review Trilogi: Semar Mesem Romo Mendem. Hal ini dikarenakan buku-buku ini bagi saya saling berhubungan erat satu sama lain. Bagaimana tidak, ketiga buku ini merupakan buku “inspirasi”, “proses”, dan “hasil” (seharusnya ada empat buku, namun buku yang satu lagi belum saya baca). Ketiganya akan saya urai namun tidak dengan urutan inspirasi-proses-hasil, namun dengan urutan kapan saya membeli.

Buku Album Musik Semar Mesem Romo Mendem: The Book of Sindhunata
(sumber: dokumentasi pribadi)
Pada tahun 2015 lalu, saya pertama kali datang ke kantor marchendise Jogja Hip Hop Foundation (JHF) di Gedung Situs Kriya di komplek Jogja National Museum. Di sana saya membeli buku album ini dan bertemu dengan mas Marzuki Mohammad a.k.a Kill The DJ, pendiri Jogja Hip Hop Foundation.
Dalam buku album ini, ada 14 lagu yang kesemuanya merupakan sebuah hiphopisasi puisi (istilah saya sendiri). Jika ada istilah musikalisasi puisi, maka ini saya sebut hiphopisasi puisi. Karena bagi saya ini bukan sekedar memusikan puisi, tapi ada banyak hal yang saya rasakan dari kesemua lagu-lagu dalam album ini (mari sepakat untuk menganggap bahwa hal tersebut hanya karena selera musik saya saja).
Saya menemukan banyak hal yang membuka pikiran saya. Dimulai dengan sambutan dari Kill The DJ yang menyatakan bahwa dia selalu merasa heran di setiap kali manggung, “bagaimana sebuah teks puisi karya Sindhunata yang kami ‘permak’ menjadi lagu hip hop itu bisa dirapalkan oleh ribuan orang dan menggetarkan mereka?” (hal. 5). Begitu pula dengan saya yang entah kenapa juga merasakan getaran yang aneh terhadap lagu-lagu JHF (yang dari teks puisi Sindhunata). Dulu ketika saya masih duduk di Madrasah Aliyah, saya mulai menyukai musik hip hop karena dikenalkan oleh teman saya. Lalu ketika teman saya mengenalkan saya dengan lagu Jogja Istimewa-nya JHF, saya masih belum merasakan getaran aneh. Namun, ketika saya dikenalkan lagi dengan lagu Cintamu Sepahit Topi Miring (sebelum dibuatkan album Semar Mesem Romo Mendem ini), barulah saya merasakan sebuah getaran aneh. Ada sebuah pemikiran dimana saya hanya peduli dengan kata-kata dan bunyi yang dirapalkan secara hip hop tanpa mempedulikan soal arti. Di situlah saya mulai memahami bahwa kata yang dibunyikan dan dirasakan oleh pendengar jauh lebih nikmat dari pada sibuk memahami arti. Karena toh pada akhirnya setiap pendengar bisa berbeda-beda dalam mengambil arti dari sebuah lagu.
“Sebenarnya aku tidak ngerti puisi itu apa, artinya apa, maksudnya apa, aku hanya merasa nyaman dengan kata-kata dari puisi-puisi Romo Sindhu dan menjadi hidup ketika dibikin lagu,” demikian Heri Wiyoso a.k.a M2MX (salah satu personil Jogja Hip Hop Foundation). (hal. 6)
Begitu pula disampaikan Kill The DJ, “ternyata memahami arti puisi bukanlah segalanya, karena spirit yang diamini khalayak adalah iman yang selalu melahirkan doa terbaik. Meminjam istilah Elisabeth Inandiak, seperti Centhini, mantra akan menjadi hidup ketika diberi bunyi dan disuarakan, bukan hanya tertulis dan tersimpan dalam kitab”. Begitu juga dengan saya ketika mendengar lagu-lagu hasil hiphopisasi puisi dari Sindhunata oleh JHF, saya selalu tidak pernah mencoba untuk mencari arti dan maksudnya, namun saya nikmati setiap kata yang dibunyikan yang seakan setiap kata yang dirapalkan dalam lagu-lagu tersebut seakan menjadi hidup. “Sesungguhnya setiap kata adalah bunyi, dan setiap bunyi mempunyai nyawa,” demikian disampaikan Kill The DJ (hal. 10).
Selain Kill The DJ, Sindhunata juga memberikan sambutan dalam buku album ini. Dia menyampaikan bahwa dalam puisinya yang berjudul Rep Kedhep ada sebuah rapal mantra yang diambil dari sebuah ritual yang biasa dilakukan oleh sekelompok warga di sebuah daerah di Klaten. Lalu yang membuat dia heran dan tidak menyangka, “rapal tersebut banyak terdengar dimana-mana, paling tidak di Yogyakarta dan sekitarnya” (hal. 18). Dan hal tersebut, JHF lah yang mempopulerkan dan membuat anak-anak muda, laki-laki maupun perempuan, juga merapalkan mantra tersebut beserta puisi Rep Kedhep dalam balutan musik hip hop. Saya juga baru tahu bahwa bagian reff dari lagu Rep Kedhep tersebut adalah sebuah mantra setelah membaca buku album ini.
Selain itu, dalam lagu (dan puisi) Cintamu Sepahit Topi Miring ada kata-kata yang unik, yaitu nong ji nong ro. Itu memang merupakan semacam irama dari sebuah alat musik tradisional, kenong. Puisi Cintamu Sepahit Topi Miring, memang Sindhunata menceritakan soal Ranto Gudel, pelawak, peminum, yang kemudian menyadari semua kesia-siaan hidupnya (hal. 21). Lalu yang membuat saya salut adalah ketika saya menonton video dokumentasi JHF ketika mereka tour hip hop di Amerika, mereka mengajak penonton (orang-orang Amerika) untuk bersama-sama merapal nong, nong ji nong ro beberapa kali yang kemudian disambut oleh musik lalu dimulailah lagu Cintamu Sepahit Topi Miring. Begitu juga yang saya rasakan ketika saya pertama kali menonton konser JHF secara langsung di Jogja Expo Centre pada 2015 lalu. Mereka akan mengajak penonton untuk merapal nong ji nong ro terlebih dahulu sebelum memulai lagu Cintamu Sepahit Topi Miring. Seakan ini adalah sebuah lagu yang sakral. Selain lagu tersebut, JHF juga biasa berseru “ayo ndadi” ketika akan menyanyikan lagu Rep Kedhep yang biasanya ditaruh sebagai lagu pembuka ketika sedang show (atau lagu kedua setelah lagu pembuka, dan ini hanya setahu saya).
“Kata adalah bunyi. Ternyata bunyi lebih kaya dan lebih dalam daripada kata. Dan selalu kata tak dapat menangkap seluruh kekayaan dan kedalamannya” (hal. 23).
Hal lain yang sangat menarik adalah Sindhunata yang mengatakan bahwa “karya, yang mempunyai tugas untuk ’tidak mati’, berhak untuk membunuh, untuk membunuh pengarangnya” (hal. 37). Sepertinya memang benar. Ketika seseorang membuat karya, memang biasanya akan terbunuh dengan persepsi-persepsi yang berbeda-beda ketika dibaca atau dinikmati orang lain, apalagi jika disampaikan lagi ke orang lain.
“Dalam lirik-lirik teman-teman JHF , ‘saya’ sebagai ‘pengarang’ atau ‘penyair’ sudah terbunuh dan mati. Tapi seperti saya katakan berulang kali, saya ‘rela’ malah ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Itu bukan karena saya telah memenuhi tuntutan etis. Saya ikhlas, malah bersyukur, bahwa ‘saya’ terbunuh dan mati, karena tu berarti,bahwa ‘puisi’ saya tetap hidup terus, walau dengan cara, makna dan isi hidup yangsama sekali baru” (hal. 39).


Yogyakarta, 13 Juli 2020


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Popular Posts

Recent Posts

Categories

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright © Gerakan Komik Bosok | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com